Keberadaan
Freeport sejak kontrak karya ke-satu ilegal dalam transparansi dan ketetapan
pajak bagi negara. Hasil Freeport baru diketahui secara resmi dan diatur dalam
Undang-undang negara Indonesia sejak kontrak karya ke-2. Nah, Kontrak karya
pertama Freeport tahun 1967 sesungguhnya fiktif.
Indonesia sudah rugi sejak Freeport masuk.
Sekarang pun tetap rugi karena konstitusi Negara mendukung emas dibawa ke
Amerika dan negara Lainya di dunia. Pemerintah sibuk dengan kasus-kasu keamanan
perusahaan di Papua, sedangkan ekonomi bangsa terabaikan. Nah, dibawah ini
adalah gambaran apa saja tentang Freeport yang sudah berlalu.
Agar bangsa ini dapat
merefleksikan bagaimana solusi terbaik bagi Papua dan tentunya martabat bangsa
Indonesia di ukur sejak penanganan kasus semacam Freeport di Papua. Dengan
cadangan 25 milyar pon tembaga, 40 juta ons emas dan 70 juta ons perak,
nilainya sekitar 40 milyar dollar AS berdasarkan harga berlaku. Freeport
diberikan jaminan untuk bekerja di lokasi pertambangan untuk bertahun-tahun.
Jika menemukan tambahan kekayaan mineral di atas 4,1 juta hektar di tanah
sekitarnya akan menjadi hak eksklusif Freeport.
Indonesia Penghasil Emas
Indonesia menjawab Tuntutan Rakyat Papua terkait
keberadaan PT. Freeport Indonesia. Catatan singkat dampak Sosial (konflik) yang
timbul sejak kehadiran PT. Freeport di Tanah Papua. Posisi Negara dalam
mengatasi Freeport, suatu masalah sekarang. Berikut adalah aspek konflik dan
penanganan Negara diawali dari tahun 2006 hingga 2009. Negara
(Pemerintah) dalam kasus PT. Freeport yang sudah terjadi, belum ada niat baik
untuk menyambut tuntutan rakyat Papua, terutama soal Freeport. Sikap rakyat
Papua meminta penyelesaian Freeport, selalu saja di jawab dengan bedil senjata,
konflik perang suku, mobilisasi aparat militer di areal Freeport bahkan
membanjirnya dana-dana taktis. Negara lebih pada pengutamaan pengamanan asset
perusahaan ketimbang Negara memberi ruang kedaulatan kepada warga Negara
sendiri.
Story
PT. Freeport Indonesia (PTFI atau Freeport) adalah sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas sahamnya dimiliki Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. Perusahaan ini merupakan perusahaan penghasil emas terbesar di dunia melalui tambang Grasberg. Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Ertsberg (dari 1967 hingga 1988) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di kawasan Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Freeport-McMoRan berkembang menjadi perusahaan dengan penghasilan US$ 6,555 miliar pada tahun 2007. Mining Internasional, sebuah majalah perdagangan, menyebut tambang emas Freeport sebagai yang terbesar di dunia.
Kontrak Karya yang Merugikan dari Generasi ke Generasi
Freeport memperoleh kesempatan untuk mendulang mineral di
Papua melalui tambang Ertsberg sesuai Kontrak Karya Generasi I (Kontak Karya I)
yang ditandatangani pada tahun 1967. Freeport adalah perusahaan asing pertama
yang mendapat manfaat dari Kontak Karya I. Dalam perjalanannya, Freeport telah
berkembang menjadi salah satu raksasa dalam industri pertambangan dunia, dari
perusahaan yang relatif kecil. Hal ini sebagian besar berasal dari keuntungan
yang spektakuler sekaligus bermasalah yang diperoleh dari operasi pertambangan
tembaga, emas, dan perak di Irian Jaya, Papua.
Kontak Karya I dengan Freeport ini terbilang
sangat longgar, karena hampir sebagian besar materi kontrak tersebut merupakan
usulan yang diajukan oleh Freeport selama proses negosiasi, artinya lebih
banyak disusun untuk kepentingan Freeport. Dalam operasi pertambangan,
pemerintah Indonesia tidak mendapatkan manfaat yang proposional dengan potensi
ekonomi yang sangat besar di wilayah pertambangan tersebut. Padahal bargaining
position pemerintah Indonesia terhadap Freeport sangatlah tinggi, karena
cadangan mineral tambang yang dimiliki Indonesia di wilayah pertambangan Papua
sangat besar bahkan terbesar di dunia. Selain itu, permintaan akan barang
tambang tembaga, emas dan perak di pasar dunia relatif terus meningkat. Dengan kondisi
cadangan yang besar, Freepot memiliki jaminan atas future earning. Apalagi,
bila ditambah dengan kenyataan bahwa biaya produksi yang harus dikeluarkan
relatif rendah karena karakteristik tambang yang open pit. Demikian pula emas
yang semula hanya merupakan by-product, dibanding tembaga, telah berubah
menjadi salah satu hasil utama pertambangan.
Freeport sudah sejak lama berminat
memperoleh konsesi penambangan tembaga di Irian Jaya. Kontak Karya I Freeport
disusun berdasarkan UU No 1/67 tentang Pertambangan dan UU No. 11/67 tentang
PMA. Kontak Karya antara pemerintah Indonesia dengan Freeport Sulphur Company
ini memberikan hak kepada Freeport Sulphur Company melalui anak perusahaannya
(subsidary) Freeport Indonesia Incorporated (Freeport), untuk bertindak sebagai
kontraktor tunggal dalam eksplorasi, ekploitasi, dan pemasaran tembaga Irian
Jaya. Lahan ekplorasi mencangkup areal seluas 10.908 hektar selama 30 tahun,
terhitung sejak kegiatan komersial pertama.
Freeport diberikan kebebasan dalam
pengaturan manajemen dan operasi, serta kebebasan dalam transaksi dalam devisa
asing. Freeport juga memperoleh kelonggaran fiskal, antara lain: tax holiday
selama 3 tahun pertama setelah mulai produksi. Untuk tahun berikutnya selama 7
tahun, Freeport hanya dikenakan pajak sebesar 35%. Setelah itu pajak yang
dikenakan meningkat menjadi sekitar 41,75%. Freeport juga dibebaskan dari
segala jenis pajak lainnya dan dari pembayaran royalti atas penjualan tembaga
dan emas kecuali pajak penjualannya hanya 5%.
Keuntungan yang sangat besar terus diraih
Freeport, hingga Kontrak Karya I diperpanjang menjadi Kontrak Karya II yang
tidak direnegosiasi secara optimal. Indonesia ternyata tidak mendapatkan
manfaat sebanding dengan keuntungan besar yang diraih Freeport. Ketentuan-ketentuan
fiskal dan finansial yang dikenakan kepada Freeport ternyata jauh lebih rendah
jika dibandingkan dengan yang berlaku negara-negara Asia dan Amerika Latin.
Perpanjangan Kontrak Karya II
seharusnya memberi manfaat yang lebih besar, karena ditemukannya potensi
cadangan baru yang sangat besar di Grasberg. Kontrak telah diperpanjang pada
tahun 1991, padahal Kontrak Karya I baru berakhir pada tahun 1997. Pada
kenyataannya ini adalah kehendak dari orang-orang Amerika di Freeport, dan
merupakan indikasi adanya kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam proses
negosiasi untuk mendapat keuntungan pribadi dari pertambangan di bumi Irian
Jaya itu. Kontrak Karya II tidak banyak mengalami perbaikan untuk
memberikan keuntungan finansial tambahan yang berarti bagi pihak Indonesia.
Perubahan yang terjadi hanyalah dalam hal kepemilikan saham dan dalam hal
perpajakan. Sementara itu, besarnya royalti tidak mengalami perubahan sama
sekali, meskipun telah terjadi perubahan jumlah cadangan emas. Penemuan emas di
Grasberg merupakan cadangan emas terbesar di dunia. Dalam
Kontrak Karya II, ketentuan menyangkut royalti atau iuran eksploitasi/produksi
(pasal 13), menjelaskan bahwa sistem royalti dalam kontrak Freeport tidak
didasarkan atas prosentase dari penerimaan penjualan kotor (gross revenue),
tetapi dari prosentase penjualan bersih. Penjualan bersih adalah penjualan
kotor setelah dikurangi dengan biaya peleburan (smelting), biaya pengolahan
(refining), dan biaya-biaya lainnya yang dikeluarkan Freeport dalam penjualan
konsentrat. Prosentase royalti (yang didasarkan atas prosentase penerimaan
penjualan bersih juga tergolong sangat kecil, yaitu 1%-3,5% tergantung pada
harga konsentrat tembaga, dan 1% flat fixed untuk logam mulia (emas dan perak). Di dalam
kontrak Freeport, besaran iuran tetap untuk wilayah pertambangan yang
dibayarkan berkisar antara US$ 0,025-0,05 per hektar per tahun untuk kegiatan
Penyelidikan Umum (General Survey), US$ 0,1-0,35 per hektar per tahun untuk
kegiatan Studi Kelayakan dan Konstruksi, dan US$ 1,5-3 per hektar per tahun
untuk kegiatan operasi eksplotasi/produksi. Tarif iuran tersebut, di seluruh
tahapan kegiatan, dapat dikatakan sangat kecil, bahkan sangat sulit diterima
akal sehat. Dengan kurs 1 US$ = Rp 9.000 maka besar iuran Rp 225 hingga Rp
27.000 per hektar per tahun.
Sedangkan menyangkut pengawasan atas kandungan mineral
yang dihasilkan, dalam kontrak Freeport tidak ada satu pun yang menyebut secara
eksplisit bahwa seluruh operasi dan fasilitas pemurnian dan peleburan harus
seluruhnya dilakukan di Indonesia dan dalam pengawasan Pemerintah Indonesia.
Pasal 10 poin 4 dan 5 memang mengatur tentang operasi dan fasilitas peleburan
dan pemurnian tersebut yang secara implisit ditekankan perlunya untuk dilakukan
di wilayah Indonesia, tapi tidak secara tegas dan eksplisit bahwa hal tersebut
seluruhnya (100%) harus dilakukan atau berada di Indonesia. Hingga saat ini,
hanya 29% saja dari produksi konsentrat yang dimurnikan dan diolah di dalam
negeri. Sisanya (71%) dikirim ke luar negeri, di luar pengawasan langsung dari
pemerintah Indonesia.
Di dalam Kontrak Freeport, tidak
ada satu pasal pun yang secara eksplisit mengatur bahwa pemerintah Indoensia
dapat sewaktu-waktu mengakhiri Kontrak Freeport. Pun jika Freeport dinilai
melakukan pelanggaran-pelanggaran atau tidak memenuhi kewajibannya sesuai
dengan kontrak. Sebaliknya, pihak Freeport dapat sewaktu-waktu mengakhiri
kontrak tersebut jika mereka menilai pengusahaan pertambangan di wilayah
kontrak pertambangannya sudah tidak menguntungkan lagi secara ekonomis. Pemasukan
37 Trilyun dari 1992-2006 Sejak tahun 1992-2006 total pemasukan Freeport kepada
negara Indonesia adalah 37 Trilyun, dari hasil pembayaran Pajak Negara dan
daerah. Sedangkan keuntungan Freeport adalah menyuplai 40 ribu ton Emas ke
Amerika selama beroperasi.
Sumber :